Tuesday, November 26, 2013

Artificial Love


Mudah-mudahan ente ada waktu luang untuk membaca catatan kecil ini. Sahabat, beberapa waktu lalu aku didatangi seorang kawan baik. Ia telah menceritakan keadaan batinnya pada beberapa orang terdekatnya, tapi tak satupun memuaskan hati katanya. Maka sebagai yang penghabisan, ia datang padaku berharap aku mampu memberikan jawaban yang melegakan kesesakan hatinya. 

Ceritanya cerita tentang anak muda seusianya, masalah yang itu-itu juga: perempuan. Setelah ia ceritakan dengan antusias tinggi, aku pun tak kalah antusias menanggapinya, akhirnya aku beri jawaban padanya bahwa aku tak mendapati jawaban yang sekiranya dapat melegakan kesesakan hatimu. Tapi sebagai ganti, aku berjanji menceritakan kisahnya – kisahnya saja tanpa aku sebutkan siapa-siapanya – pada kawan-kawanku yang lain, agar mendapatkan jawaban yang barangkali mampu melegakan kesesakan hatinya. 

Maka aku harapkan komentar dan saran dari sahabat sekalian sebagai bahan diskusi untuk dapat membantunya melegakan kesesakan hatinya. Aku juga lebih senang hati dan ucapkan terima kasih tiada duanya pada kawan sekalian yang mau membagi cerita ini pada kawan yang lain, demi mencapai jawaban yang mungkin bisa melegakan kesesakan hatinya itu.

 Aku menamai dirinya dalam cerita ini dengan nama: aku. Pada awalnya, aku menganggap bahasan mengenai cinta dan perempuan hanyalah seperti keinginannya untuk menonton spongebob, tidak lebih, tidak serius. Walaupun untuk episode tertentu aku memang benar-benar ingin menontonnya. Akan tetapi, sebagaimana spongebob aku tidak pernah sekali pun mengkhawatirkannya. Karena aku tahu, spongebob diputar setiap hari Senin sampai Jumat jam 06.00 – 08.00 pagi. Dan jika aku tidak menonton pagi ini, aku bisa menontonnya esok hari. 

Tapi, ketika aku dihadapkan dengan perempuan, apalagi cinta. Skakmat. Tidak berkutik. Beku. Diam. Di dunia ini, aku hanya akrab dengan tiga wanita. Ibu dan kedua adiknya. Dalam pergaulan, teman perempuannya bisa dihitung dengan jari, itu pun lebih karena ada kepentingan dengan mereka. Seperti menumpuk tugas dari dosen, ujian skripsi, menyampaikan undangan organisasi, rapat, program kampus, laporan bulanan, bertemu customer, ngobrol kerjaan dan yang serupa dengan itu. Pernah beberapa kali, sebelumnya aku menanyakan perihal ini pada beberapa kawan, tapi aku tidak juga menemukan jawaban yang menentramkan sampai kali ini kuceritakan padamu. 

Tentang cinta, dahulu aku pernah menemuinya beberapa kali mungkin dua atau tiga kali. Hal ini pun pernah dia ceritakan pada beberapa sahabatnya, namun dalam situasi bercanda saja. Dan jawaban dari mereka: mungkin perasaan itu hanya sebatas rasa kagum saja. Kagum akan kecantikan parasnya, kehalusan budi pekertinya, kesungguhan dan keistiqomahannya juga. Dan aku meng-iyakan saja pernyataan itu, karena saat itu perempuan dan cinta hanya sebatas spongebob. 

Pernah aku sengaja menemui; mencari cinta atau katakan saja seolah-olah aku bertemu dengannya, aku menamakannya artificial love, cinta buatan. Cinta dengan berpikir, bukan merasa. Love in purpose, terlihat naif. Iya, aku menyebutnya manipulasi rasa. Seperti halnya ketika cuaca sangat dingin, maka aku akan memikirkan sesuatu yang sebaliknya. Persepsi. 

Sebenarnya ini hanya proyek coba-coba saja dan dia bisa meyakinkanku bahwa semuanya masih terkontrol baik. Saat itu aku berpikir, bahwa aku harus mengerti bagaimanakah cinta itu, warnanya, suaranya, dan lain sebagainya. Bagaimana pula kawan-kawanku bisa “terjebak” dalam cinta yang seperti ini, Tapi aku kembali berkata, everything is Ok.. Sampai akhirnya aku menghentikan proyek ini dengan sadar, setelah aku berpikir bahwa aku telah mengerti apa yang dirasakan Romeo dan Juliet, Sampek dan Engtai dan semua orang yang mengaku memperjuangkan cinta. 

Cinta buatan. Dan setelah itu aku kembali menganggapnya seperti spongebob. Dan hal itu tersimpan di otakku sebagai ilmu, bukan yang lain. Cinta.... Itu putih, itu bersih, itu murni.... Cinta.... Itu putih, itu suci, itu indah... Itu kata Slank, dan aku percaya, maka sekuat tenaga aku ingin menjaga kesucian dan kemurniannya sehingga sungkan untuk mengotorinya. 

Suatu ketika kawan dan sahabatku mulai banyak yang memutuskan untuk menikah, aku mempertanyakannya kembali, masihkah cinta seperti spongebob yang diputar setiap hari Senin sampai Jumat? Aku kembali beku memikirkan pertanyaan itu. Dan aku berpikir aku sudah tidak bisa menganggapnya sekedar spongebob. Aku harus mulai serius dan memperjuangkannya. 

Sejak saat itu, aku baru benar-benar serius memperjuangkannya, mencari referensi, bertanya kepada sahabat-sahabatnya, membaca buku-buku tentang pernikahan, dan lain sebagainya. Dan ketika ada sahabat yang mempertanyakannya, maka aku menanyakan hal yang sama kepada orang-orang yang cukup dekat dengan dirinya. 

Saat aku sedang duduk santai dengan seorang security di kantor, aku menanyakannya. “Pak, nek ada sing takon, meh nikah kapan? Aku kudu jawab opo??” “Yo jawab jujur ae to mas”, jawabnya singkat. Mendengar saran itu, maka aku ingin menjawabnya dengan jujur bahwa menyegerakan menikah adalah yang terbaik, tetapi menikah pun ada fiqh-nya. Ia bisa menjadi wajib, mubah atau bahkan haram. Aku tak usah menjelaskannya, kau pasti lebih paham. Kau telah menjalaninya. 

Dan ketika di lain kesempatan aku menjawab: secepatnya, memang aku sedang berproses untuk bisa menyegerakannya, bukankah jodoh seorang putri adalah seorang pangeran??, maka aku sedang memantaskan diri sebagai seorang pangeran untuk kelak meminang seorang tuan putri. Mungkin pernyataan ini klise, kuno, sering aku mendengarnya dari Mario Teguh. But aku believe. 

Ketika ditanya mengenai target, maka aku berani untuk menjawab bahwa aku punya target menikah, perencanaan. Maka dengan berikhtiar memantaskan diri ini, aku menyongsong target tersebut. Tapi kapan? Maaf aku belum bisa berbagi denganmu, biarkan ini menjadi doa-doa yang aku panjatkan dalam sujud-sujudku. Insya Alloh dalam waktu dekat.

Hidup jomblo (yang mempunyai visi)!!, itu adjah...

0 comments:

Post a Comment