Posting ini adalah tugas
Pendidikan Kewarganegaraan teman saya yang saya copy paste (Hallah, apa iya?
Iya bener. Saya tidak bohong. Saya posting karena saya anggap penting untuk
dishare. Yuk simak. (Hallah....)
Mantan Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN) AM Hendropriyono mengingatkan, terorisme muncul akibat benturan
global antara dua ideologi besar saat ini, liberalisme demokrasi dan
fundamentalisme agama. Alih-alih memunculkan proses dialektika, keduanya malah
justru berupaya saling memerangi dan menghancurkan.
Sementara pelaku teror
(teroris), menurut Hendropriyono, sangat mudah ditandai sebagai orang yang
memiliki kepribadian yang terbelah (split personality) dan juga
kegalatan kategori (category mistake) sehingga menganggap apa yang
dilakukan sebagai kebenaran.
Dia menambahkan, bentuk
kepribadian yang terbelah bisa mudah dikenali. Bahasa yang digunakan dalam
terorisme terbelah dalam dua tata permainan bahasa, mengancam dan mendoakan.
Dalam konteks ini, terorisme jadi tidak membedakan antara mantan Presiden
Amerika Serikat George W Bush dan pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden.
"Keduanya menurut saya sama-sama teroris," ujar Hendropriyono.
Bagaimana tidak, dalam
menjalankan aksi terornya, Al Qaeda juga melancarkan ancaman untuk membunuh
orang-orang yang menurut mereka pantas dibunuh dan di sisi lain mereka
mengklaim dan mendoakan perbuatan tersebut sebagai direstui Tuhan.
Hal senada juga dilakukan George
W Bush, yang tidak hanya mengutuk tetapi juga memerangi orang atau kelompok
yang mereka anggap sebagai teroris, dengan menggunakan serangan bersenjata,
seperti di Afganistan dan Pakistan, negara-negara yang dicurigai menjadi basis
Al Qaeda.
Dalam melancarkan aksi serangan
bersenjatanya pun, pihak AS, dalam pernyataan Bush, mendoakan serta meyakini
apa yang dilakukan direstui oleh Tuhan. Dalam konteks itu lah, menurut
Hendropriyono, antara Bush dan Laden, sama-sama teroris.
Setelah komunisme jatuh, seluruh
dunia sekarang gandrung akan demokrasi. Sayangnya, proses demokrasi oleh negara
besar seperti AS dilakukan dengan tidak etis dengan melupakan komitmen damai.
Dalam konteks itulah muncul kemudian fundamentalisme agama, yang digunakan
untuk kepentingan politik, ujar Hendropriyono.
Lebih lanjut dalam kesempatan
itu, Hendropriyono mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak terjebak dalam
perbenturan kedua ideologi tadi. Baik liberalisme demokrasi maupun
fundamentalisme agama diyakini tidak akan pernah menemui titik temu.
Agar Indonesia tidak ikut terjebak dalam
peperangan kedua ideologi tadi, Hendropriyono mengingatkan satu-satunya cara
adalah dengan memperkuat kembali dan merevitalisasi ideologi serta filosofi
pemersatu bangsa, Pancasila. Dengan begitu Pancasila bisa menjadi filter
terhadap nilai dan filosofi yang tidak sesuai dengan kultur serta identitas
bangsa Indonesia.
Seperti pada masa perang dingin
di mana terdapat koeksistensi ideologi masing-masing bangsa, termasuk kita
dengan ideologi sendiri, sehingga semua bangsa bisa hidup dengan damai. Tidak
ada terorisme, ujar Hendropriyono.
Namun, tambah Hendropriyono,
jika bangsa Indonesia malah
memilih salah satu dari dua ideologi besar yang sekarang tengah berbenturan,
maka Indonesia
hanya akan menjadi bagian dari peperangan di antara keduanya.
Lebih lanjut sebagai tindak
kejahatan yang tidak tunduk pada aturan apa pun karena nilai kebenaran diyakini
berada di dalam diri para teroris, paham terorisme menurut Hendropriyono harus
diberantas.
Namun, diakui hal itu tidak
mudah mengingat terorisme dalam penggambaran Hendropriyono, seperti monster
imajiner mitologi Yunani, Hydra, atau mitologi pewayangan, Candabirawa, yang
sama-sama berbentuk makhluk ganas yang akan selalu muncul dan tumbuh menjadi
banyak setiap kali dibunuh.
Tulisan ini dimaksudkan bukan
untuk menghina atau pun mengajak pada ideologi tertentu, akan tetapi lebih
bersifat informatif.Kalau ditanya tentang ideologi saya sendiri penganut
ideologi kebenaran. Kebenaran yang mana?
Ayo bareng-bareng kita cari. Kalau
bisa bareng ngapain sendiri-sendiri, hitung-hitung hemat ongkos and bensin.
0 comments:
Post a Comment