Analisis
wacana maupun analisis isi (kualitas) sebuah karya yang muncul di media-media
massa, muncul dengan berbagai pola pandang. Sastra, selama ini masuk dalam
wilayah seni tinggi, yang sering dihadapkan secara berkebalikan dengan
novel-novel populer. Dalam kebanyakan studi kebudayaan, keterkaitan antara teks
dalam novel pop dengan pembaca memang menjadi tema yang menarik, mengingat
novel-novel pop tersebut selama ini lekat dengan stigma hiburan, ringan dan
memanipulasi emosi pembaca.
karya-karya
sastra (kanon) yang mengangkat semangat “perlawanan” dan negosiasi atas
makna-makna kultural tidak muncul sebagai sesuatu yang ditonjolkan betul.
Karena dianggap hasil kebudayaan yang lebih bermutu dan serius, sastra jenis
ini dinilai lebih bisa mewakili realitas kehidupan masyarakat sekaligus menjadi
refleksi sosial.
Perkembangan
industrialisasi (produksi, komunikasi dan konsumsi massa) berperan besar dalam
memberikan ruang bagi tumbuhnya `sastra massa’ atau `sastra populer’, yaitu
bentuk-bentuk sastra yang mempunyai akar pada kebutuhan, cara berpikir,
pengetahuan, problematika dan selera orang-orang kebanyakan (people). Sastra
macam ini menjadi bagian dari `industri budaya’ (culture industry), yang
diproduksi untuk massa yang luas melalui pola-pola industrial. Ada semacam
proses `kapitalisasi’, di mana sastra—dengan sengaja atau tak disengaja—menjadi
tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, di dalam sebuah `komodifikasi
budaya’ (commodification of culture).
Konstruksi sastra sebagai bagian `industri budaya’,
telah mengkhawatirkan kalangan kritikus sastra akan terciptanya sastra yang
berbasis pada logika industri. Tentu saja, karya sastra—atau produk-produk
kebudayaan lainnya—tidak dapat disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi,
logika industri itu setidak-tidaknya ikut mempengaruhi perkembangan strategi,
bentuk, gaya, dan kandungan isi karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra
dapat diterima, diapresiasi, dipahami dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar
memaksimalkan keuntungan ekonomi, telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra
yang disesuaikan dengan selera massa itu sendiri.
Menurutnya Putu Wijaya
sastra adalah bentuk ekspresi, dengan bahasa sebagai basisnya, yakni bahasa
lisan, bahasa gerak, tubuh, isyarat, ilmiah, anak. Dia mengutip
sastrawan Prancis yang mengatakan sastra bukan hiburan melainkan
ilmu pengetahuan.
Era reformasi, yang
terhitung sejak jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998, telah memunculkan banyak
fenomena dalam kesusastraan Indonesia. Di antara fenomena-fenomena tersebut,
terangkat dan tergalinya kembali jenis-jenis dan karya-karya sastra yang selama
ini terpinggirkan, termasuk sastra populer.
Fenomena yang terkait
dengan sastra populer dan ditunjukkan pada era ini adalah maraknya keberadaan
sastra yang menjadi ciri penting kesusastraan pasca-Orba. Selain marak, sastra
populer era ini juga menunjukkan keberagaman dan secara mencolok memperlihatkan
karakteristik yang berbeda dengan sastra populer di era sebelumnya.
.
Gejala yang segera dapat terlihat dari perumusan-perumusan tersebut adalah sama, yakni bahwa korpus-nya hanya didasarkan pada karya-karya sastra yang dianggap sastra tinggi. Sastra populer tidak ditilik dalam melihat ciri setiap periode tersebut sehingga karakteristik dan kekhasan yang dimilikinya tidak tertelaah, terdeskripsikan, dan terangkumkan.
Dengan demikian, sastra populer yang selama ini berada di luar hegemoni, didudukkan secara semestinya. Hal ini diperkuat pula dengan lahirnya studi kultural (cultural studies). Kajian yang berawal dari Inggris ini melihat kebudayaan sebagai aktivitas sehingga menurutnya tidak ada kebudayaan yang mesti dikesampingkan. Kajian ini telah berkontribusi dalam menghancurkan batas antara sastra (kebudayaan) tinggi dan sastra (kebudayaan) populer yang selama ini dipandang secara dikotomis dan hierarkis.
Dari berbagai pustaka yang ada, dapat dilihat bahwa sastra populer telah tumbuh dan menempati kurun-kurun waktu tertentu, yang setiap kurun waktu itu menunjukkan ciri-ciri tertentu yang khas. Dari kekhasan setiap kurun waktu itu dapat saya deskripsikan periodisasi sastra populer, yaitu (1) Periode Zaman Kolonial; (2) Periode 1950-1968-an; (3) Periode 1970-1990-an; dan (4) Periode Era Reformasi.
Sastra populer di Indonesia telah tumbuh sejak abad 19, terutama pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Sastra populer pada masa ini ditulis, baik oleh kaum Indo-Belanda, peranakan Cina, maupun kaum pribumi, dengan menggunakan bahasa Melayu Pasar. Sastra populer yang ditulis pada masa ini meliputi cerita-cerita tentang kehidupan para nyai, cerita-cerita kriminal yang diangkat dari kisah-kisah nyata di pengadilan, cerita silat, cerita-cerita hantu (gaib), dan cerita percintaan (yang tak jarang dibumbui sex). Di samping itu, di balik cerita-cerita tersebut, tak jarang para pengarangnya menyelipkan ideologi tertentu. Cerita-cerita yang ditulis R. M. Tirto Adhi Soerjo dan Marco Kartodikromo, misalnya, ditengarai mengandung ideologi komunis.
Jenis sastra di atas mengalami masa surut pada zaman pendudukan Jepang (1942-1949). Surutnya hal ini, seperti pernah dicatat Jakob Sumardjo, dikarenakan zaman itu penuh pergolakan politik dan sosial. Untuk menulis dan membaca dibutuhkan ketenangan khusus yang sulit diperoleh pada masa seperti ini. Dari berbagai literatur, tak banyak terdeskripsikan sastra populer pada masa ini sehingga untuk sementara dapat dikatakan bahwa masa ini tidak masuk dalam periodisasi sastra populer.
Sastra populer baru merebak kembali pada masa kemerdekaan, yakni 1950-1968-an. Dalam kurun waktu ini muncul novel-novel dan cerpen-cerpen dengan cerita-cerita percintaan yang dibumbui sensualitas, detektif, dan koboi.
Gejala yang segera dapat terlihat dari perumusan-perumusan tersebut adalah sama, yakni bahwa korpus-nya hanya didasarkan pada karya-karya sastra yang dianggap sastra tinggi. Sastra populer tidak ditilik dalam melihat ciri setiap periode tersebut sehingga karakteristik dan kekhasan yang dimilikinya tidak tertelaah, terdeskripsikan, dan terangkumkan.
Dengan demikian, sastra populer yang selama ini berada di luar hegemoni, didudukkan secara semestinya. Hal ini diperkuat pula dengan lahirnya studi kultural (cultural studies). Kajian yang berawal dari Inggris ini melihat kebudayaan sebagai aktivitas sehingga menurutnya tidak ada kebudayaan yang mesti dikesampingkan. Kajian ini telah berkontribusi dalam menghancurkan batas antara sastra (kebudayaan) tinggi dan sastra (kebudayaan) populer yang selama ini dipandang secara dikotomis dan hierarkis.
Dari berbagai pustaka yang ada, dapat dilihat bahwa sastra populer telah tumbuh dan menempati kurun-kurun waktu tertentu, yang setiap kurun waktu itu menunjukkan ciri-ciri tertentu yang khas. Dari kekhasan setiap kurun waktu itu dapat saya deskripsikan periodisasi sastra populer, yaitu (1) Periode Zaman Kolonial; (2) Periode 1950-1968-an; (3) Periode 1970-1990-an; dan (4) Periode Era Reformasi.
Sastra populer di Indonesia telah tumbuh sejak abad 19, terutama pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Sastra populer pada masa ini ditulis, baik oleh kaum Indo-Belanda, peranakan Cina, maupun kaum pribumi, dengan menggunakan bahasa Melayu Pasar. Sastra populer yang ditulis pada masa ini meliputi cerita-cerita tentang kehidupan para nyai, cerita-cerita kriminal yang diangkat dari kisah-kisah nyata di pengadilan, cerita silat, cerita-cerita hantu (gaib), dan cerita percintaan (yang tak jarang dibumbui sex). Di samping itu, di balik cerita-cerita tersebut, tak jarang para pengarangnya menyelipkan ideologi tertentu. Cerita-cerita yang ditulis R. M. Tirto Adhi Soerjo dan Marco Kartodikromo, misalnya, ditengarai mengandung ideologi komunis.
Jenis sastra di atas mengalami masa surut pada zaman pendudukan Jepang (1942-1949). Surutnya hal ini, seperti pernah dicatat Jakob Sumardjo, dikarenakan zaman itu penuh pergolakan politik dan sosial. Untuk menulis dan membaca dibutuhkan ketenangan khusus yang sulit diperoleh pada masa seperti ini. Dari berbagai literatur, tak banyak terdeskripsikan sastra populer pada masa ini sehingga untuk sementara dapat dikatakan bahwa masa ini tidak masuk dalam periodisasi sastra populer.
Sastra populer baru merebak kembali pada masa kemerdekaan, yakni 1950-1968-an. Dalam kurun waktu ini muncul novel-novel dan cerpen-cerpen dengan cerita-cerita percintaan yang dibumbui sensualitas, detektif, dan koboi.
Tahun 1970-an sastra populer mengalami pergeseran dari ciri sebelumnya. Sastra populer pada masa ini banyak ditulis kaum perempuan. Cerita-cerita yang mendominasi masa ini adalah masalah rumah tangga. Kemudian berkembang pula cerita-cerita remaja, (baik berupa cerita petualangan, maupun cinta remaja). Hal ini berlangsung hingga 1990-an (akhir masa Orba).
Pasca-Orde Baru, yang sering disebut era reformasi, berkembang pesat karya-karya sastra populer dengan motif-motif keagamaan atau yang diistilahkan Moh. Irfan Hidayatullah sebagai Ispolit-Islam Popular Literature (jenis ini telah dirintis sejak sebelum reformasi). Berkembang pula novel dan cerpen-cerpen remaja yang menceritakan perempuan kosmopolitan dengan keseharian kehidupan perkotaan dalam karya-karya chicklit dan teenlit. Jenis-jenis cerita yang ada pada era sebelumnya memang masih berkembang sekali pun tidak mendominasi. Namun, pada periode ini sastra populer tidak banyak diwarnai tema-tema kekerasan (kriminalitas). Hal itu terjadi barangkali karena tayangan-tayangan berita kriminal di televisi telah cukup "memuaskan" masyarakat.
Ada yang bisa dicatat dari fenomena sastra populer era mutakhir ini, yakni munculnya pergeseran dalam bobot tema yang diangkat. Sastra populer era ini lebih menunjukkan muatan intelektual. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan novel Ayat-ayat Cinta yang banyak mengandung wawasan keagamaan yang tidak ringan. Atau novel-novel chicklit dan teenlit, yang mengusung apa yang diistilahkan Aquarini Prabasmoro sebagai feminisme lunak.
Dua istilah di atas,
sebetulnya adalah sebuah upaya untuk membedakan dua jenis karya sastra
(terutama novel dan cerpen). Meskipun kerap juga, perbedaan-perbedaan itu
kemudian tampak kabur ketika batas-batasnya juga tak dapat diidentifikasi
secara jelas. Namun, setidaknya, bagi kita yang baru mulai belajar menulis,
spesifikasi ini penting untuk kemudian dapat menentukan cara atau gaya kita
dalam berkarya.
Sebutan “sastra populer” atau “sastra pop” sebenarnya sudah mulai bergema di tahun 70-an. Ketika, misalnya, novel Cintaku di Kampus Biru dan Karmila sukses di pasaran. Sebagaimana yang kita tahu, dua novel itu memang sengaja memberikan “hiburan” kepada “selera pasar.” Menyebut pasar, maka otomatis yang terbayang adalah “perdagangan.” Sesuatu yang komersial. Jadi, karena tuntutan itu, maka sastra populer harus menampilkan masalah-masalah yang aktual, namun hanya sampai di tingkat yang permukaan. Kenapa begitu? Karena jika terlalu mendalam, terlalu intens membahas problem kehidupan manusia, maka ia akan menjadi “sastra serius.” Begitu kening pembaca berkerut, terkesan berat di konsumsi umum, maka ia segera menjadi tidak populer. Nah, adik-adik, resikonya, “sastra populer” cepat ketinggalan zaman. Sebab ia ringan, bersifat artifisial, bersifat sementara. Maka akan segera digeser terus oleh kehadiran karya-karya yang lain, dengan gaya zaman yang berubah. Sastra popular, memang tidak mengejar capaian estetis, sebab targetnya adalah menghibur, menarik dengan tema masalah yang “itu-itu” saja, misalnya tema cinta dan asmara.
Sementara, “sastra serius” biasanya cenderung melakukan penggalian dan eksplorasi, dalam berbagai unsur: tema, plot, tokoh, konflik, gaya bahasa, dan lain-lain. Memang betul, ada juga tema cinta-asmara di dalam “sastra serius.” Akan tetapi, ia hanya bumbu, bukan yang paling utama. Kisah cinta, diungkapkan dengan perspektif yang berbeda dan baru.
Maka, resiko yang mesti ditanggungkan “sastra serius” adalah ia memang kerap ditinggalkan pembaca umum. Seolah ia kesepian sendiri di sudut-sudut rak buku kita. Meskipun, harus kita akui, bahwa “sastra serius” lebih bisa berumur panjang, tahan gempuran zaman. Tentu, jika karya itu memang berkualitas baik. Bukankah, karya-karya dari Sutan Takdir Alisyahbana, Armin Pane, Akhdiat, Iwan Simatupang, Pramoedya, masih tetap sampai pada kita di hari ini?
Sebutan “sastra populer” atau “sastra pop” sebenarnya sudah mulai bergema di tahun 70-an. Ketika, misalnya, novel Cintaku di Kampus Biru dan Karmila sukses di pasaran. Sebagaimana yang kita tahu, dua novel itu memang sengaja memberikan “hiburan” kepada “selera pasar.” Menyebut pasar, maka otomatis yang terbayang adalah “perdagangan.” Sesuatu yang komersial. Jadi, karena tuntutan itu, maka sastra populer harus menampilkan masalah-masalah yang aktual, namun hanya sampai di tingkat yang permukaan. Kenapa begitu? Karena jika terlalu mendalam, terlalu intens membahas problem kehidupan manusia, maka ia akan menjadi “sastra serius.” Begitu kening pembaca berkerut, terkesan berat di konsumsi umum, maka ia segera menjadi tidak populer. Nah, adik-adik, resikonya, “sastra populer” cepat ketinggalan zaman. Sebab ia ringan, bersifat artifisial, bersifat sementara. Maka akan segera digeser terus oleh kehadiran karya-karya yang lain, dengan gaya zaman yang berubah. Sastra popular, memang tidak mengejar capaian estetis, sebab targetnya adalah menghibur, menarik dengan tema masalah yang “itu-itu” saja, misalnya tema cinta dan asmara.
Sementara, “sastra serius” biasanya cenderung melakukan penggalian dan eksplorasi, dalam berbagai unsur: tema, plot, tokoh, konflik, gaya bahasa, dan lain-lain. Memang betul, ada juga tema cinta-asmara di dalam “sastra serius.” Akan tetapi, ia hanya bumbu, bukan yang paling utama. Kisah cinta, diungkapkan dengan perspektif yang berbeda dan baru.
Maka, resiko yang mesti ditanggungkan “sastra serius” adalah ia memang kerap ditinggalkan pembaca umum. Seolah ia kesepian sendiri di sudut-sudut rak buku kita. Meskipun, harus kita akui, bahwa “sastra serius” lebih bisa berumur panjang, tahan gempuran zaman. Tentu, jika karya itu memang berkualitas baik. Bukankah, karya-karya dari Sutan Takdir Alisyahbana, Armin Pane, Akhdiat, Iwan Simatupang, Pramoedya, masih tetap sampai pada kita di hari ini?
dari berbagai sumber
0 comments:
Post a Comment