Pertanyaan yang sama buat Green Goblin and Spiderman, atau Joker
and Batman...
Ramayana merupakan kisah klasik yang menceritakan tentang Rama
yang menyelamatkan istrinya, Shinta, yang diculik oleh Raja Raksasa, Rahwana.
Walaupun lakon-lakonnya mengacu pada tulisan yang digubah sekian ratus tahun
lalu tetapi kesamaan-kesamaan sikap dan perilakunya dapat ditemui dalam
realitas saat ini. Dalam setiap lakon wayang selalu terdapat dua kubu positif
dan negatif (mulai deh..), gambaran antara kebaikan dan kejahatan. Tokoh
protagonis digambarkan sebagai dewa-dewi, santun, bijak dan rupawan. Sedangkan
tokoh antagonis adalah raksasa yang kasar, bengis, dan buruk rupa.
Rama merupakan sosok ideal untuk merepresentasikan kebaikan,
dengan jelas penokohan Rama yang santun, bijak, sakti dan rupawan mencerminkan
nilai-nilai luhur, sedangkan Rahwana, sang Raja Raksasa yang bengis mewakili
segala keburukan. Jika direfleksikan maka kita dapat menemukan sosok Rama atau
Rahwana dalam perilaku kehidupan sehari-hari, tergantung nilai-nilai moral apa
yang dianutnya.
Oleh karena nilai-nilai moral yang dianut manusia tersebut, maka
tolok ukur perilaku manusia adalah baik dan buruk, dan dua hal tersebut akan
selalu menjadi kontradiksi dalam kehidupan manusia (penegasan oposisi biner) .
Dan hal yang ingin ditampilkan oleh epik Ramayana ataupun lakon-lakon lain
dalam wayang adalah bahwa setiap kebaikan pasti (diakhir cerita) akan menang
melawan kejahatan.
Kejahatan merupakan titik balik dari kebaikan, sehingga keduanya
selalu berada dalam posisi yang berlawanan. Namun, apakah yang menyebabkan
terciptanya kebaikan dan keburukan dalam diri manusia? Apakah hal tersebut
bersifat “kodrati” atau merupakan bentukan dari lingkungan? Apabila dilihat
dari kacamata konstruktivisme, maka kita akan melihat bagaimana kepentingan dan
identitas seorang individu menentukan posisi mana yang akan dia pilih.
Selain itu, terdapat faktor lain yaitu interaksi yang akan
membentuk suatu persepsi bagaimana seharusnya individu bertindak.
Kebaikan atau kejahatankah yang akan dilakukan individu tergantung
pada faktor-faktor di atas. Namun, kenapa manusia memilih untuk melakukan
kejahatan? Jika manusia memang cenderung berbuat kejahatan seperti yang
dikatakan Aristoteles, maka kenapa muncul nilai-nilai positif dalam diri
individu itu sendiri? Dengan menarik garis antara kebaikan dan kejahatan, maka
mungkin kita akan menemukan titik keseimbangan
di mana akan tercipta sebuah tatanan moral.
Menurut Nietzsche, manusia merupakan mahkluk yang kontradiktif dan
kompleks, yang secara emosional mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan namun
secara bersamaan mampu untuk hidup dalam keadaan keutamaan (virtue).
Keutamaan (baca: kebaikan) tidak akan menjadi nyata bila seandainya tidak
memiliki alternatif yang berlawanan, yakni kejahatan.
Dalam lakon Ramayana, tokoh Rahwana memiliki kepentingan dan
identitas yang menggambarkan sebab penculikan atas Shinta. Rahwana, raksasa
yang terlahir dengan sepuluh kepala, memutuskan untuk melakukan pertapaan
selama 1000 tahun, dan setiap 100 tahun, ia akan memenggal satu dari kepalanya
dengan tujuan untuk mengurangi unsur jahat dalam dirinya. Ketika kepala
terakhir akan dipenggalnya, para dewa melarang dengan alasan bahwa Rahwana
adalah penyeimbang dunia dan imbalannya ia dijanjikan seorang dewi yaitu Dewi
Setiowati. Dan Shinta adalah titisan dari Dewi Setiowati tersebut, sehingga
membuat Rahwana merasa berhak atas Shinta dan kemudian membawanya secara paksa.
Rahwana sebagai penyeimbang dunia yang dengan kejahatannya akan
memunculkan kebaikan yang diusung oleh Rama.Jika kejahatan atau kebaikan adalah
kodrati, maka kita tidak akan mempunyai kebebasan untuk memilih berbuat baik
atau jahat. Namun, bila kita menganggap bahwa baik dan buruk merupakan bentukan
dari struktur, maka bagaimana kita menjelaskan bahwa dalam struktur yang keji
sekalipun masih terdapat kebaikan, seperti Wibisana, adik Rahwana yang dengan
gagah berani menentang maksud jahat dari sang Raja dan menolong Rama dalam
mengalahkan Alengka dan membebaskan Shinta.
Menurut teori konstruktivist, dalam mencapai suatu kepentingan,
maka dimungkinkan adanya perubahan identitas yang dipengaruhi oleh interaksi
dalam sistem lingkungannya. Identitas bisa berubah dari teman menjadi lawan.
Maka di sini konstruktivist mencoba memberi penjelasan mengenai bagaimana
memahami kedua sisi yang berlawanan dengan suatu pemaknaan yang menaungi
keduanya.
Rahwana selalu ada di mana pun lakon Rama diperankan. Keberadaan
keduanya memungkinkan terciptanya sebuah alur utama dari cerita, yang mana
untuk menciptakan kebaikan maka harus terlebih dahulu tercipta kejahatan,
ataupun sebaliknya. Bahkan Rama sendiri pun harus melakukan hal keji dengan
memberikan ujian membakar diri pada Shinta untuk membuktikan kesuciannya
setelah ia dibebaskan dari cengkraman Rahwana. Hal ini semakin memberikan
gambaran bahwa antara baik dan buruk, terdapat ritme tertentu yang akan
menciptakan sebuah keseimbangan dalam kehidupan manusia.
Adanya kebaikan dan keburukan perlu dipahami sebagai suatu keseimbangan
dari sebuah kesatuan sistem, dan kesatuan alam mempunyai mekanismenya sendiri.
Dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Kejahatan harus selalu ada, agar
muncul nilai-nilai kebaikan yang akan menyeimbangkannya.Di sini, nilai-nilai
kebenaran menjadi solusi atas masalah yang timbul akibat dari kejahatan..
Socrates mengatakan bahwa mereka yang berusaha mencapai
kepentingannya dengan menginjak-injak orang lain sebenarnya mereka membawa
kerusakan yang hampir tidak dapat diperbaiki pada kepentingan mereka yang
paling utama, yakni kebaikan jiwa mereka. Singkatnya, orang yang berbuat jahat
dan bersikap tidak adil sebenarnya merusak jiwa mereka sendiri.
Maka dapat disimpulkan bahwa pencapaian hakiki manusia terhadap
kebaikan adalah dengan menghapus kejahatan dalam dirinya sendiri, tanpa
melupakan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat sosial.
Kalo Rahwana tidak pernah ada, Sri Rama mau ngapain?? Ya terserah
Sri Rama dong, emang masalah buat loh..!!, tetapi yang jelas cerita Ramayana
akan terdengar sangat membosankan.
That's all
0 comments:
Post a Comment