Mudah-mudahan ente ada waktu luang untuk
membaca catatan kecil ini. Sahabat, beberapa waktu lalu aku didatangi seorang
kawan baik. Ia telah menceritakan keadaan batinnya pada beberapa orang
terdekatnya, tapi tak satupun memuaskan hati katanya. Maka sebagai yang
penghabisan, ia datang padaku berharap aku mampu memberikan jawaban yang
melegakan kesesakan hatinya.
Ceritanya cerita tentang anak muda seusianya,
masalah yang itu-itu juga: perempuan. Setelah ia ceritakan dengan antusias
tinggi, aku pun tak kalah antusias menanggapinya, akhirnya aku beri jawaban
padanya bahwa aku tak mendapati jawaban yang sekiranya dapat melegakan
kesesakan hatimu. Tapi sebagai ganti, aku berjanji menceritakan kisahnya –
kisahnya saja tanpa aku sebutkan siapa-siapanya – pada kawan-kawanku yang lain,
agar mendapatkan jawaban yang barangkali mampu melegakan kesesakan hatinya.
Maka aku harapkan komentar dan saran dari
sahabat sekalian sebagai bahan diskusi untuk dapat membantunya melegakan
kesesakan hatinya. Aku juga lebih senang hati dan ucapkan terima kasih tiada duanya
pada kawan sekalian yang mau membagi cerita ini pada kawan yang lain, demi
mencapai jawaban yang mungkin bisa melegakan kesesakan hatinya itu.
Aku
menamai dirinya dalam cerita ini dengan nama: aku. Pada awalnya, aku menganggap
bahasan mengenai cinta dan perempuan hanyalah seperti keinginannya untuk
menonton spongebob, tidak lebih, tidak serius. Walaupun untuk episode tertentu
aku memang benar-benar ingin menontonnya. Akan tetapi, sebagaimana spongebob
aku tidak pernah sekali pun mengkhawatirkannya. Karena aku tahu, spongebob
diputar setiap hari Senin sampai Jumat jam 06.00 – 08.00 pagi. Dan jika aku
tidak menonton pagi ini, aku bisa menontonnya esok hari.
Tapi, ketika aku dihadapkan dengan perempuan,
apalagi cinta. Skakmat. Tidak berkutik. Beku. Diam. Di dunia ini, aku hanya
akrab dengan tiga wanita. Ibu dan kedua adiknya. Dalam pergaulan, teman
perempuannya bisa dihitung dengan jari, itu pun lebih karena ada kepentingan
dengan mereka. Seperti menumpuk tugas dari dosen, ujian skripsi, menyampaikan
undangan organisasi, rapat, program kampus, laporan bulanan, bertemu customer,
ngobrol kerjaan dan yang serupa dengan itu. Pernah beberapa kali, sebelumnya
aku menanyakan perihal ini pada beberapa kawan, tapi aku tidak juga menemukan
jawaban yang menentramkan sampai kali ini kuceritakan padamu.
Tentang cinta, dahulu aku pernah menemuinya
beberapa kali mungkin dua atau tiga kali. Hal ini pun pernah dia ceritakan pada
beberapa sahabatnya, namun dalam situasi bercanda saja. Dan jawaban dari
mereka: mungkin perasaan itu hanya sebatas rasa kagum saja. Kagum akan
kecantikan parasnya, kehalusan budi pekertinya, kesungguhan dan
keistiqomahannya juga. Dan aku meng-iyakan saja pernyataan itu, karena saat itu
perempuan dan cinta hanya sebatas spongebob.
Pernah aku sengaja menemui; mencari cinta
atau katakan saja seolah-olah aku bertemu dengannya, aku menamakannya
artificial love, cinta buatan. Cinta dengan berpikir, bukan merasa. Love in
purpose, terlihat naif. Iya, aku menyebutnya manipulasi rasa. Seperti halnya
ketika cuaca sangat dingin, maka aku akan memikirkan sesuatu yang sebaliknya.
Persepsi.
Sebenarnya ini hanya proyek coba-coba saja
dan dia bisa meyakinkanku bahwa semuanya masih terkontrol baik. Saat itu aku
berpikir, bahwa aku harus mengerti bagaimanakah cinta itu, warnanya, suaranya,
dan lain sebagainya. Bagaimana pula kawan-kawanku bisa “terjebak” dalam cinta
yang seperti ini, Tapi aku kembali berkata, everything is Ok.. Sampai akhirnya
aku menghentikan proyek ini dengan sadar, setelah aku berpikir bahwa aku telah
mengerti apa yang dirasakan Romeo dan Juliet, Sampek dan Engtai dan semua orang
yang mengaku memperjuangkan cinta.
Cinta buatan. Dan setelah itu aku kembali
menganggapnya seperti spongebob. Dan hal itu tersimpan di otakku sebagai ilmu,
bukan yang lain. Cinta.... Itu putih, itu bersih, itu murni.... Cinta.... Itu
putih, itu suci, itu indah... Itu kata Slank, dan aku percaya, maka sekuat
tenaga aku ingin menjaga kesucian dan kemurniannya sehingga sungkan untuk
mengotorinya.
Suatu ketika kawan dan sahabatku mulai banyak
yang memutuskan untuk menikah, aku mempertanyakannya kembali, masihkah cinta
seperti spongebob yang diputar setiap hari Senin sampai Jumat? Aku kembali beku
memikirkan pertanyaan itu. Dan aku berpikir aku sudah tidak bisa menganggapnya
sekedar spongebob. Aku harus mulai serius dan memperjuangkannya.
Sejak saat itu, aku baru benar-benar serius
memperjuangkannya, mencari referensi, bertanya kepada sahabat-sahabatnya,
membaca buku-buku tentang pernikahan, dan lain sebagainya. Dan ketika ada
sahabat yang mempertanyakannya, maka aku menanyakan hal yang sama kepada
orang-orang yang cukup dekat dengan dirinya.
Saat aku sedang duduk santai dengan seorang
security di kantor, aku menanyakannya. “Pak, nek ada sing takon, meh nikah
kapan? Aku kudu jawab opo??” “Yo jawab jujur ae to mas”, jawabnya singkat.
Mendengar saran itu, maka aku ingin menjawabnya dengan jujur bahwa menyegerakan
menikah adalah yang terbaik, tetapi menikah pun ada fiqh-nya. Ia bisa menjadi
wajib, mubah atau bahkan haram. Aku tak usah menjelaskannya, kau pasti lebih
paham. Kau telah menjalaninya.
Dan ketika di lain kesempatan aku menjawab:
secepatnya, memang aku sedang berproses untuk bisa menyegerakannya, bukankah
jodoh seorang putri adalah seorang pangeran??, maka aku sedang memantaskan diri
sebagai seorang pangeran untuk kelak meminang seorang tuan putri. Mungkin
pernyataan ini klise, kuno, sering aku mendengarnya dari Mario Teguh. But aku
believe.
Ketika ditanya mengenai target, maka aku
berani untuk menjawab bahwa aku punya target menikah, perencanaan. Maka dengan
berikhtiar memantaskan diri ini, aku menyongsong target tersebut. Tapi kapan?
Maaf aku belum bisa berbagi denganmu, biarkan ini menjadi doa-doa yang aku
panjatkan dalam sujud-sujudku. Insya Alloh dalam waktu dekat.
Hidup jomblo
(yang mempunyai visi)!!, itu adjah...
0 comments:
Post a Comment